Maros Abad XX : Masa-masa Pemerintahan Adat memasuki Birokrasi Modern

 Memasuki Abad XX di Maros berkembang situasi yang sangat fluktuatif karena terjadinya persaingan antar elite. Simbang yang sejak 1870 melebur ke dalam Turikale ketika masa La Umma Daeng Manrapi sebagai Regent yang kemudian terpilih juga menjadi Kepala Distrik Simbang dalam tahun 1868, ingin kembali melepaskan diri dari ikatan adat Turikale dan kembali menjadi masyarakat adat yang otonom makin menambah runyamnya hubungan antar Tokoh.

La Umma Daeng Manrapi yang ketika meninggal tidak digantikan oleh puteranya Patahuddin Daeng Parumpa karena masih berusia 9 tahun, Adat Turikale memilih Sanrima Daeng Parukka sepupu sekali La Umma Daeng Manrapi sebagai Kepala Distrik yang baru. Patahuddin Daeng Parumpa sang "Putera Mahkota" hanya diangkat sebagai Sulewatang. Palaguna Daeng Marowa yang kemudian menjadi Kepala Distrik Turikale seolah dalam tekanan untuk melepaskan Simbang dari Turikale.

Pada 1923, akhirnya Simbang kembali menjadi Distrik otonom dan Dewan Adat Simbang memilih Patahuddin Daeng Parumpa yang selama ini menjabat Sulewatang Turikale sebagai Kepala Distrik Simbang namun 9 bulan kemudian mengundurkan diri untuk memberi jalan putera sulungnya Amiroeddin Daeng Pasolong naik menggantikannya. Tugas awalnya adalah memajukan kembali kehidupan ekonomi Simbang dan alhamdullah berhasil dengan baik karena pada akhir 1923 pemasukan kas Simbang yang pada awal tahun hanya f.1649 (baca 1649 Gulden) naik menjadi f.3720,20 dan terus naik hingga di akhir tahun 1925 kas Simbang naik menjadi f.5025,14.

Pada Tanggal 16 Mei 1923, Propinsi Distrik Utara (Nordern Districten) terbentuk dan terbagi atas Onderafdeling Maros sebagai fusi 16 buah Distrik Adat yang dikelompokkan dalam 3 Federasi Adat yang disebut Tunre Tellu'e yaitu Toddolimaya, mencakup Distrik Marusu, Tanralili, Lau, Bontoa, Simbang dan Turikale. Selanjutnya Gallarang Appaka yang terdiri atas Bira, Sudiang, Biringkanaya dan Moncongloe dan yang berada di Pegunungan dan dikelilingi perbukitan adalah Federasi Lebbotengngae terdiri atas Camba, Cenrana, Mallawa, Gantarang Matinggi, Wanua Waru dan Laiya.

Sebelumnya, dalam Memorie van Overgave W.G. der Wolk (Controleur van Maros) diterangkan bahwa sebelum Onderafdeling Maros terbentuk, Gantarang Matinggi dan Wanua Waru adalah bagian dari Wilayah Gowa. Labuaja dan Bengo diintegtasikan ke dalam Cenrana, sedang Balocci tahun 1926 menjadi bagian dari Pangkajene.

Selanjutnya Nordern Districten dibagi atas 3 Kelompok Distrik Pajak (pachtdistrik), yaitu Maros, Pangkajene dan Segeri dan Distrik Pegunungan (bergregent-schappen). Dan Onderafdeling Maros langsung di bawah Asisten Residen dan pada wilayah di atas ditempatkan seorang kontrolir sebagai pengawas. Pada masing2 Distrik disamping diangkat Kepala Distrik dengan gelar Karaeng, Arung ataupun Gallarang terdapat pula pegawai bumiputera sebagai jaksa dan juru bahasa.

Kita kembali membahas sedikit tentang Federasi Toddolimaya. Pasal 20 Perjanjian Bungaya menegaskan posisi Nordern Districten sebagai wilayah yang dikuasai langsung dan salah satu tindak lanjutnya ialah pengelompokan wilayah dimana Toddolimaya yang dulu menjadi Aliansi Politik yang dibangun oleh La Mamma Daeng Marewa dengan komposisi Marusu, Tanralili, Simbang, Bontoan dan Tangkuru kini hanya menjadi pengelompokan dalam administrasi wilayah dengan komposisi seperti yang telah penulis uraikan di depan.

Pada kelompok adat Toddolimaya, Kepala Distrik (Karaeng) Marusu lebih diperhitungkan sebagai Ketua Federasi, sedang di Lebbotengngae, adalah Kepala Distrik (Arung) Camba sedangkan di kelompok Gallarang Appaka, Kepala Distrik (Gallarang) Sudiang yang tampil memimpin federasi.

Khusus Distrik Lau sebelumnya adalah federasi tersendiri dengan Lau sebagai Ketua dan anggota Raya dan Tangkuru.

Pasca pembentukan federasi2 tersebut muncul gesekan akibat ketidak puasan Toddolimaya yang dipelopori oleh Abdul Hamid Daeng Manessa Kepala Distrik Turikale yang terpilih menggantikan ayahnya Palaguna Daeng Marowa. Toddolimaya yang merasa memiliki posisi lebih tinggi dari Lebbotengngae dan Gallarang Appaka menginginkan dihadirkannya kembali sebagian dari sistem birokrasi lama yang kuat dengan melakukan reorganisasi pemerintahan modern. Mereka ingin mengambil kembali kewenangan dalam pengambilan kebijakan yang lebih strategis dalam mengelola daerahnya masing-masing.

Ide Toddolimaya untuk membentuk Hadat Maros agar dapat lebih mandiri mendapat respon Belanda. Karena konstelasi politik yang berkembang untuk hadirnya gagasan tersebut dianggap dapat menjadi perekat yang lebih kuat bagi kelompok yang lebih besar yaitu Tunre Tellue.

Lembaga Hadat Besar Maros akhirnya dibentuk pada tahun 1927 dengan komposisi 5 Kepala Distrik, Yaitu 3 dari Ketua Federasi (Toddolimaya - Lebbotengngae - Gallarang Appaka) ditambah 2 lagi diambil dari Toddolimaya. Dari mereka berlima dipilih seorang Ketua dari dan oleh mereka berlima yang kemudian mereka menjalankan pemerintahan harian atas nama 16 Kepala Distrik berdasarkan mandat yang diberikan.

Namun yang terjadi kemudian adalah tidak dapat diperoleh kesepakatan tentang posisi dan kewenangan Ketua Hadat Besar tersebut. Terjadi perbedaan tajam di antara mereka berlima mengakibatkan gagalnya menyepakati tentang siapa yang menjadi Ketua Hadat Besar Maros. Kepala Distrik Turikale yang masuk ke dalam keanggotaan Hadat Besar ex.officio karena sebagai Ketua Federasi Toddolimaya mendapat reaksi dan perlawanan keras dari Kepala Distrik Camba (Lebbotengangae) dan Sudiang (Gallarang Appaka), akibatnya peta politik berubah signifikan menjadi sangat krusial. Mereka lebih menginginkan Pejabat Belanda yang mempimpin Hadat Maros daripada dikuasai oleh Kepala Distrik Turikale. Bahkan di dalam tubuh Toddolimaya sendiri dimana menjadi Ketua Federasi terdapat friksi yang menentang ambisi Kepala Distrik Turikale menjadi Ketua Hadat seperti yang diperlihatkan oleh Kepala Distrik Tanralili dan Bontoa. Sedangkan Marusu, Simbang dan Lau memilih abstain tidak bersikap.

I Pa'bela Daeng Maronrong (Kepala Distrik Marusu) tidak mengambil sikap dalam merespon konstelasi politik karena beliau sendiri lebih fokus dalam menghadapi kondisi internal di Marusu dimana beberapa tokoh kritis menentang kepemimpinannya. Belanda mengambil kesempatan dalam kondisi runyam ini bahkan sempat mendorong Muhiddin Krg Ngago (salah seorang Karaeng Tallua yang kesohor itu) untuk mengambil alih pimpinan kekaraengan di Marusu dan menentang ambisi Kepala Distrik Turikale menjadi Ketua Adat Maros.
Banyak hal yang penulis tidak uraikan secara vulgar berkaitan dengan kondisi pergolakan politik ini karena berkaitan dengan prilaku, sikap dan sifat dari Para Karaeng Kepala Distrik yang rasanya kurang elok untuk ditulis secara telanjang. Tetapi jika pembaca ingin mengetahuinya dengan jelas dapat membaca Memorie van overgave dari W.G. der Wolk yang pernah menjadi Controleur di Maros (1946 - 1947) berjudul " Kort Apercu Betreffende de Onderafdeling Maros"

Akhirnya upaya menggagalkan keinginan Kepala Distrik Turikale menjadi Ketua Hadat Maros berhasil diwujudkan karena kemudian yang mengetuai Hadat Maros adalah Kepala Onderafdeling Maros (seorang aparat Belanda) sedangkan Para Ketua Federasi dan Karaeng yang menjadi Anggota Hadat Maros ditetapkan sebagai pembantu Kepala Onderafdeling dalam menjalankan pemerintah harian.





Maros, 8 Agustus 2019
Ditulis oleh Andi Fachry Makkasau