Maros Abad XIX : Integrasi, Perubahan Struktur Kekuasaan dan Gejolak Perlawanan Rakyat


Pada tahun 1816 Inggris meninggalkan Sulawesi Selatan, Onderafdeling Maros yg tadinya termasuk dalam penguasaan Inggris diserahkan ke dalam penguasaan Belanda. Dalam masa sesudahnya banyak Kepala Kampung menghadap kepada Pemerintah Belanda untuk meminta bergabung dengan Turikale yg saat itu masih berstatus Onderdistrict (kampung) di bawah kepemimpinan Muhammad Yunus Daeng Mumang. Akhirnya permintaan tersebut disetujui dan Turikale dalam tahun 1846 menjadi Distrik tersendiri yang kemudian dalam tahun 1860 dinaikkan levelnya menjadi Regentschapp (Kabupaten) dan La Umma Daeng Manrapi diangkat sebagai Regent (Bupati) yang pertama.

Sejak Perjanjian Bungaya ditandatangani, hegemoni kekuasaan atas Maros tetap berada di tangan Raja Bone, awal Abad XIX, aliansi Adat Toddolimaya yang sebelumnya menjadi perekat para Kepala Distrik dihapuskan dan Raja Bone XXIII La Tenri Tappu Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin membentuk 3 (tiga) daerah Kasulewatangan yang merupakan perpanjangan tangan Raja Bone mengontrol kekuasaan di Maros yaitu masing2 (1) Sulewatang Lau (Barat) diangkat La Mattotorang Daeng Mamangung Krg Segeri putera La Mauraga Sultan Adam Datu Mario ri Wawo (2). Sulewatang Raya (Timur) diangkat I Supu Daeng Pasau dan (3) Sulewatang Timboro (Selatan) diangkat La Mattuppuang Daeng Palallo putera dari La Makkasau Arung Palakka. Ketiga Sulewatang inilah yang bertindak sebagai wakil Raja Bone di Maros tugasnya mengontrol tugas para Kepala Distrik/Regent.

Belanda yang mengendalikan kembali kekuasaan pemerintahan kolonial pasca Kekuasaan Inggris lalu menempatkan seorang Kontroleur di Wilayah Pegunungan Lebbotengngae dalam 1862, keputusan ini mendapat protes keras dari La Pallawagaoe (Kepala Distrik Cenrana) dan La Makkoasa Dg Pasaka (Kepala Distrik Mallawa), namun Kroesen Gubernur Celebes en Onderhoorigeden (Sulawesi dan Taklukannya) di Makassar tidak bergeming atas keputusan tsb. Kontroleur de Villeneuve berusaha meredakan dan membujuk para Kepala Distrik agar mau bekerja sama serta tetap setia, tidak terprovokasi dan menganggap Belanda sebagai sekutu utama. Namun para Kepala Distrik tetap melakukan perlawanan. Dalam tahun 1864, La Mappincara (Kepala Distrik Camba) dengan didukung oleh Para Kepala Distrik dalam wilayah Lebbotengngae tampil melakukan perlawanan. Belanda lalu menurunkan 120 org pasukan bersenjata menghadapi perlawanan La Mappincara. Yang kemudian memaksa Kepala Distrik Camba tersebut menyingkir ke Cani (Bone). Akibatnya La Mappincara lalu diberhentikan sebagai Kepala Distrik dan digantikan oleh La Sinapang Daeng Lala dengan pengangkatan tertanggal 21 Desember 1864.

Dengan dimediasi oleh Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, Pada Tanggal 3 April 1865 La Mappincara (Kepala Distrik Camba) menyerahkan diri kepada Asisten Residen di Maros kemudian tgl. 23 April 1865 beliau dibawa ke Batavia untuk menjalani hukuman. Setahun menjalani hukuman di Batavia La Mappincara (Kepala Distrik Camba) berhasil melarikan diri dan kembali ke Camba melanjutkan perlawanan melawan Belanda dengan menata kembali strategi perang.
Dalam tahun 1868 terjadi kontak senjata dalam eskalasi yang cukup besar di Kampung Samaenre Mallawa. Asisten Residen Maros menghadapi perlawanan itu dengan mengirim pasukan dalam jumlah yang besar, Kampung Samaenre dibakar hampir seluruh isinya. Namun pada malam tanggal 10 dan 11 Juli 1868, pasukan Distrik Camba dan Distrik Mallawa dengan dibantu oleh pasukan yang dikirim oleh La Pagoncing (Kepala Distrik Labuaja) melakukan pembalasan dengan menyerang dan membakar habis Kantor Pembantu Kontroleur di Camba.

Walaupun perlawanan rakyat tdk terlalu membuahkan hasil tapi setidaknya telah menunjukkan bahwa kebencian para Kepala Distrik bersama rakyat kepada Belanda menjadi semakin meningkat. Dalam tahun 1868 di wilayah Lebbotengngae akibat tingginya intensitas perlawanan rakyat terhadap Belanda, akhirnya dilakukan integrasi peleburan. Distrik Bengo yang ketika itu dijabat oleh I Budi Daeng Pawello dan Distrik Labuaja yang dijabat oleh La Pagoncing yg sebelumnya juga masing-masing adalah Distrik otonom yang dipimpin seorang Kepala Distrik dengan gelar Sulewatang, dilebur ke dalam Wilayah Distrik Cenrana dengan besluit No. 14 Tanggal 7 Maret 1868.

Dalam tahun 1870 La Umma Daeng Manrapi Regent Turikale yang juga menjabat sebagai Kepala Distrik Simbang sejak 7 Agustus 1868 menggantikan I Mangembabundu Daeng Manjarungi, harus menerima kenyataan bahwa Distrik Simbang dilebur ke dalam Distrik Turikale, meski masih tetap dalam tanganya selaku penguasa Turikale. Di saat yang sama Sudiang yang saat itu dalam kekuasaan I Tajibarani Daeng Matarang sebagai Regent juga dialihkan menjadi Wilayah kekuasaan Tallo.

Selanjutnya Distrik Raya pada tanggal 24 Januari 1906 dilebur ke dalam Wilayah Distrik Lau. Distrik Raya yang awalnya adalah sebuah daerah Kasulewatangan sebagai perpanjangan tangan Raja Bone dengan I Supu Daeng Pasau sebagai Sulewatang Raya I, dan setelah wafat pada 1893 lalu digantikan oleh puteranya I Tahere Daeng Mapata sampai tahun 1897, Distrik Raya akhirnya bernasib tragis dibawah kepemimpinan Sulewatang I Hamada Daeng Matutu yang diangkat dengan besluit 363/41 tanggal 4 Februari 1897, harus menyerahkan wilayahnya kepada Kepala Distrik Lau. Saleh Daeng Lullu.

Demikian pula dengan Tangkuru yang awalnya adalah sebuah Distrik penuh ketika I Taji Daeng Matarang diangkat sebagai Regent Tangkuru kemudian digantikan oleh I Mallingkoang Daeng Malliongi sejak 24 Februari 1861 akhirnya juga menerima kenyataan pahit ketika dalam masa pemerintahan I Manrakkai Daeng Ngirate harus menyerahkan wilayahnya menjadi bagian dari Distrik Lau melalui besluit No. 31 Tanggal 9 Maret 1906 (Lembaran Negara No. 165) kepada Kepala Distrik Lau Saleh Daeng Lullu dan Tangkuru sendiri sejak saat itu downgrade (turun level) menjadi Onderdistrict bagian dari Distrik Lau.

Dua tahun sebelum integrasi peleburan Distrik Tangkuru menjadi bagian Distrik Lau, dalam tahun 1904 sesungguhnya terjadi penolakan keras rakyat Distrik Tangkuru atas rencana tersebut. Namun perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Matowa Kane-kane dapat dipadamkan dengan operasi militer bersenjata pada akhir tahun itu.

Pada tahun 1909, Onderafdeling Maros, yang bersama-sama dengan Onderafdeling Pangkajene, Gowa, Makassar, Takalar dan Jeneponto berada di bawah Afdeling Makassar, selain Distrik Gallarang Appaka dan Lebbotengngae kemudian, akhirnya hanya tersisa Distrik Turikale, Marusu, Tanralili, Bontoa dan Lau di bawah kekuasaan langsung Asisten Resident Klerks. Dan Sejak itu pula pengaruh Para Sulewatang bentukan Raja Bone di Maros mulai redup. Para Kepala Kampung dari Distrik yang dilebur dan Kasulewatangan banyak yang menghadap mengajukan permohonan kepada Asisten Residen untuk meletakkan daerah mereka di bawah Kepala Distrik yang mereka sukai akibatnya struktur dan polarisasi antar kampung menjadi lebih rumit sehingga batas-batas administrasi sebuah Distrik menjadi tidak jelas. Setiap Distrik tidak menunjukkan kesatuan. Kampung dari satu Distrik terkadang dikelilingi kampung dari Distrik lain. (bersambung)






Maros, subuh 6 Agustus 2019.